Selasa, 14 Januari 2025

Sakitnya Dikhianati




Senin pagi yang cerah, hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang pasca ujian semester. Aku—Gadisty Wulansari, biasa dipanggil Gadis—berjalan ke halaman depan rumah untuk menunggu jemputan dari Andry, pacarku. Enam bulan sudah kami pacaran, meskipun beda sekolah, Andry selalu memastikan kami berangkat bersama.

Tapi pagi itu terasa berbeda. Saat motor Andry berhenti di depan rumahku, dia tidak tersenyum, tidak menyapaku seperti biasanya. Aku mencoba menyapanya dengan ceria, “Pagi, sayang!” Namun, dia hanya melepas helm dan menatapku tajam. Senyumku memudar seketika. Ada sesuatu yang salah.

“Aku salah apa?” tanyaku hati-hati. Tatapannya dingin, seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu yang besar.

“Kita putus,” katanya singkat.

Jantungku serasa berhenti. Rasanya seperti mimpi buruk. Air mataku sudah menggenang, tapi aku berusaha menahannya. “Kenapa?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Udah, nggak usah pura-pura. Aku tahu kamu selingkuh sama Rian,” ujarnya tajam.

Aku terkejut. “Selingkuh? Sama Rian? Dari mana kamu dapet pikiran itu?” tanyaku, bingung dan terluka.

“Andry, aku sama Rian cuma temenan. Kamu tahu itu!” Aku mencoba menjelaskan, tapi dia tidak mendengarkan. Kata-katanya semakin kasar, menuduhku tanpa dasar. Aku mencoba bertahan, berusaha meyakinkan dia, tapi akhirnya dia pergi, meninggalkan aku berdiri sendirian di tepi jalan.


---

Di sekolah, aku duduk melamun di bawah pohon beringin. Pikiranku terus mengulang kejadian pagi tadi. Andry lebih memilih percaya pada gosip daripada mendengar penjelasanku. Kenapa?

“Diss, kamu kenapa bengong?” suara Cesta, sahabatku sejak SMP, membuyarkan lamunanku. Dia duduk di sampingku sambil memegang roti.

“Putus,” jawabku pelan.

Cesta terdiam, lalu menarikku ke pelukannya. “Cerita, Diss. Jangan dipendam sendiri,” katanya lembut.

Aku menceritakan semuanya. Tentang tuduhan Andry, gosip yang katanya berasal dari Icha, dan bagaimana dia tidak memberiku kesempatan untuk membela diri. Air mataku tak henti-hentinya mengalir. Cesta mengusap punggungku, mencoba menenangkanku.

“Udah, Diss. Kita selesaikan ini. Nanti kita temui Icha,” katanya. Aku mengangguk, meskipun hatiku masih terasa berat.


---

Sore itu, aku dan Cesta pergi ke rumah Icha. Tapi pemandangan yang kulihat membuat hatiku hancur. Andry ada di sana, sedang duduk berdua dengan Icha di teras rumahnya.

“Ngapain kamu di sini?” tanyaku sambil berusaha menahan amarah.

“Dia main ke sini,” jawab Icha enteng. Aku merasa ingin meledak. “Dan kenapa kamu bilang ke Andry kalau aku pacaran sama Rian?” tanyaku langsung.

Icha tertawa kecil, “Rian sendiri yang bilang kalau dia suka kamu. Aku cuma menyampaikan apa yang aku dengar.”

“Andry, kamu percaya sama omongan ini?” Aku menatap Andry, berharap dia akan membela aku. Tapi dia hanya diam. Matanya menghindar dari tatapanku. Hatiku terasa semakin perih.

Saat itu, Rian muncul dari arah belakang, wajahnya penuh kemarahan. “Udahlah, Gadis. Cowok brengsek kayak dia memang cocoknya sama cewek kayak Icha,” katanya sambil menunjuk Andry.

“Andry, bener nggak kamu selingkuh sama Icha?” tanyaku, kali ini dengan suara yang lebih tenang. Tapi saat dia tidak menjawab, aku tahu semuanya benar.

Rian melanjutkan, “Aku bilang ke Icha kalau aku suka kamu, cuma buat mancing dia. Dan ternyata dia kebakaran jenggot, malah ngaku kalau dia udah jadian sama Andry.”

Air mataku jatuh lagi. “Kenapa?” tanyaku pelan pada Andry. “Kenapa kamu tega?”

Dia mencoba mendekat, tapi aku mundur. “Jangan, Andry. Aku udah cukup terluka,” kataku, lalu berbalik pergi bersama Rian dan Cesta.


---

Di perjalanan pulang, aku terdiam, memandang ke luar jendela mobil. Rian menggenggam tanganku, mencoba menghibur. “Kamu nggak sendiri, Gadis. Masih ada aku dan Cesta.”

Aku tersenyum kecil. Sakit ini tidak akan hilang dalam semalam, tapi aku tahu aku tidak sendiri. Seiring waktu, aku yakin aku akan sembuh.

Dan suatu hari, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar mencintaiku.

THE END



0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...